E8lLixHRDGb1xRnfaGQAOqap3MrzuUX2KzUNPsqv
Bookmark

Tertekan Karena diduga Dibully Oknum Guru Karena PIP, Siswi di Karo Nekat Coba Bunuh Diri

Foto Ilustrasi
KARO // KoreksiNews
- Sebuah kisah memilukan datang dari sebuah SMA Negeri di Kabanjahe, Sumatera Utara. Seorang siswi berprestasi berinisial E, yang berasal dari keluarga kurang mampu, terpaksa harus menjalani masa pemulihan panjang setelah berupaya mengakhiri hidupnya dengan meminum pestisida. Aksi nekat ini diduga kuat dipicu oleh tekanan mental dan perundungan dari oknum guru bimbingan konseling (BK) di sekolahnya.

Peristiwa tragis ini mencoreng nama baik institusi pendidikan, yang seharusnya menjadi tempat paling aman dan nyaman bagi siswa.

Awal Mula Masalah: Kelebihan Dana PIP

Berdasarkan keterangan orang tua siswa, Semua bermula pada Oktober 2024, ketika siswi E mencairkan Dana Program Indonesia Pintar (PIP) yang diterimanya. Ia adalah pelajar yang masuk sekolah melalui jalur afirmasi, dikhususkan bagi siswa dari keluarga pra-sejahtera.

Saat itu, terjadi kesalahan teknis dari pihak bank. Uang yang seharusnya ia terima hanya sebesar Rp1.800.000, justru dicairkan menjadi sekitar Rp4.500.000. Kesalahan ini tidak disadari oleh siswi E. Dana kelebihan itu pun terlanjur digunakan untuk kebutuhan sehari-hari keluarganya.

Tiga bulan kemudian, pada Desember 2024, pihak sekolah menyadari adanya kelebihan dana tersebut. Oknum guru BK berinisial F memanggil siswi E dan memintanya mengembalikan uang yang dianggapnya bukan hak siswi itu.

Meskipun siswi E sudah menjelaskan kondisi keluarganya dan berniat mencicil, kondisinya yang serba kekurangan membuat niat baik itu sulit terpenuhi. Pihak keluarga bahkan sempat memohon agar pembayaran bisa dilakukan melalui pemotongan otomatis pada pencairan PIP berikutnya, dan permohonan itu disetujui secara lisan oleh pihak sekolah.

Alih-alih memberikan dukungan, oknum guru BK F diduga terus memberikan tekanan. Dalam sebuah pertemuan, guru tersebut dikabarkan melontarkan kata-kata yang sangat menyakitkan. “Kau kalau sudah tahu miskin, jangan miskin hati. Enggak tahu diri kau, sudah miskin,” katanya.

Hinaan itu tidak hanya ditujukan kepada siswi E, tetapi juga disampaikan kepada ibunya melalui telepon. Sang ibu, yang sudah renta dan hidup dalam keterbatasan, tak kuasa menahan tangis saat mendengar kalimat "Anakmu itu sudah miskin, tidak tahu diri."

Melihat ibunya menangis, hati siswi E hancur. Ia yang sebelumnya masih tegar, akhirnya tak tahan lagi menanggung beban mental. Sesampainya di rumah, ia pergi ke belakang dan menenggak sebotol pestisida yang biasa digunakan keluarganya untuk pertanian.

Terlambatnya Klarifikasi Bank dan Kondisi Siswi E

Beruntung, nyawa siswi E berhasil diselamatkan. Ia sempat dirawat di beberapa rumah sakit, namun pengobatan lebih banyak dilakukan di rumah karena keterbatasan dana. Akibatnya, ia tidak dapat masuk sekolah.

Pihak sekolah justru mencatatnya sebagai tidak hadir tanpa keterangan dan menyarankannya untuk mengundurkan diri. Keputusan ini memperparah penderitaan siswi E yang belum pulih.

Ironisnya, di balik semua tragedi ini, pihak bank tempat pencairan dana PIP akhirnya melakukan klarifikasi. Mereka mengakui bahwa kesalahan sepenuhnya ada pada kelalaian teller bank. Pihak bank menyatakan bahwa siswi E tidak perlu mengembalikan uang kelebihan tersebut. Artinya, sejak awal siswi E tidak pernah bersalah.

Namun, pengakuan itu sudah terlambat. Trauma psikologis, hinaan, dan luka batin sudah terlanjur membekas.

Reaksi Sekolah dan Seruan Evaluasi

Pihak keluarga dan sebuah LSM yang mendampingi kasus ini berupaya berkomunikasi dengan sekolah untuk memulihkan kondisi mental dan hak pendidikan siswi E. Namun, saat wartawan dan perwakilan LSM datang, oknum guru BK F justru mengusir mereka. Tindakan ini dianggap menghalangi kerja pers dan LSM yang dilindungi undang-undang.

Kisah pilu ini menjadi tamparan keras bagi dunia pendidikan. Sudah saatnya Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara, Cabang Dinas Wilayah IV Karo-Dairi, serta Pemerintah Kabupaten Karo melakukan evaluasi menyeluruh terhadap profesionalitas dan etika tenaga pendidik.

Pendidikan seharusnya menjadi ruang harapan bagi anak-anak, bukan tempat di mana mereka merasa lebih nyaman menenggak racun daripada menghadapi ruang kelas yang penuh tekanan. Semboyan "Tut Wuri Handayani" harusnya lebih dari sekadar tulisan di tembok sekolah, melainkan nilai yang dijiwai sepenuhnya oleh para pendidik.

Penulis: Brada S
Dengarkan
Pilih Suara
1x
* Mengubah pengaturan akan membuat artikel dibacakan ulang dari awal.
Posting Komentar
BAGAIMANA MENURUT ANDA